Arsip

  • Kreasi pada masa pasca Covid
    Vol 1 No 1 (2023)

    Dunia kreasi khususnya bidang desain adalah bidang realitas yang sangat bersinggungan dengan materi. Persentuhan menjadi satu bagian penting dari perkembangan kreasi, baik dari sisi kreator ataupun objek desain itu sendiri. Pasca pandemi memberikan energi baru bagi dunia desain produk, memberikan peluan baru setelah ditempa oleh pandemi selama hampir 2 tahun lebih yang dipisahkan oleh ketiadaan sentuhan

  • menjadi emas
    Vol 1 No 2 (2024)

    Desainer adalah makhluk unik yang mampu membuat sesuatu yang berharga dari sesuatu yang tidak ada nilai apapun

  • Desain adalah sebuah Permainan
    Vol 2 No 1 (2024)

    Desain adalah bidang kreasi, bidang yang memperkaya kehidupan manusia melalui sebuah karya. Sebagian besar masyarakat berpikir bahwa menghasilkan sebuah karya desain menuntut lebih banyak keterampilan dibandingkan berpikir. Sesungguhnya, desain lebih banyak menuntut pemikiran yang strategis ketimbang keterampilan yang tinggi, seperti sebuah permainan - strategi lebih dibutuhkan sebagai penghasil nilai desain (newness - originality - uniqueness) , sedangkan keterampilan lebih berperan sebagai sebuah syarat.

    pada edisi september ini kami mengundang rekan rekan mahasiswa dan para peneliti dibidang desain untuk dapat berkontribusi pada Jurnal Desain Produk Nasional pada september mendatang. 

  • Empati sebagai kompetensi desain
    Vol 2 No 2 (2025)

    Desain adalah bidang yang sesungguhnya hadir pada kehidupan sehari-hari kita, mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan dunia di sekitar. Desain tidak hanya terbatas pada produk fisik, tetapi juga mencakup pengalaman digital, arsitektur, dan bahkan komunikasi visual. Desain yang baik mampu menciptakan koneksi emosional, memudahkan pengguna dalam menjalani aktivitas sehari-hari, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Oleh karenanya seorang desainer harus memiliki kemampuan untuk memahami kebutuhan pengguna, beradaptasi dengan perubahan, dan berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah yang kompleks.  Selain itu, kolaborasi antar disiplin ilmu juga menjadi kunci dalam menciptakan solusi desain yang inovatif dan berkelanjutan. Hal ini memperlihatkan bahwa seorang desainer juga harus mampu bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk insinyur, pemasar, dan pengguna akhir, untuk memastikan bahwa setiap aspek dari desain tersebut dapat diimplementasikan dengan efektif dan efisien. Empati akhirnya merupakan salah satu kemampuan utama dari desainer untuk dapat menghasilkan karya desain yang tidak hanya estetis, tetapi juga fungsional dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

  • Desain Inklusif
    Vol 3 No 1 (2025)

    Desain Inklusif ialah paradigma rekayasa sistem interaktif yang mengintegrasikan heterogenitas manusia sebagai variabel desain sejak tahap konseptual, bukan sebagai penyesuaian akhir. Prinsip ini muncul dari konvergensi studi disabilitas, ergonomi antropometrik, psikologi kognitif, dan analisis konteks sosial‐teknis, sehingga menghasilkan artefak fisik maupun digital yang mempertahankan kinerja optimal di sepanjang rentang kemampuan sensorik, motorik, dan kognitif pengguna tanpa memerlukan solusi khusus terpisah. Kerangka teoretiknya menekankan kontinum aksesibilitas: batas normal versus patologis dibaurkan menjadi spektrum fleksibel, di mana titik potong statistik rata‐rata digantikan oleh distribusi probabilitas kebutuhan fungsional yang berubah seiring usia, trauma, atau konteks lingkungan. Metodologi desain inklusif mengaplikasikan prinsip universal design (UD) yang terdiri atas tujuh elemen—equitable use, flexibility in use, simple and intuitive use, perceptible information, tolerance for error, low physical effort, serta size and space for approach and use—namun diperluas dengan analisis persona ekstrem (extreme user) dan simulasi disabilitas berbasis digital twin untuk memvalidasi kinerja antarmuka pada kondisi tekanan tinggi. Pendekatan ini mensinergikan Human‐Centered Design (HCD) ISO 9241-210 dengan kerangka kerja Participatory Design (PD) yang melibatkan komunitas difabel secara langsung dalam siklus sprint iteratif, menjamin keabsahan empiris serta keadilan prosedural. Di bidang teknologi, desain inklusif mendorong adopsi standar W3C WCAG 2.2 pada layer presentasi, semantic web pada layer konten, dan adaptive user interface (AUI) pada layer interaksi, sehingga memungkinkan personalisasi otomatis berbasis preferensi aksesibilitas yang tersimpan dalam profil digital terenkripsi. Sementara itu, pada produk fisik, teknik seperti modularitas komponen, material multi‐sensory (tekstur, kontras warna, suara haptic), dan geometri adaptable (misalnya grip diameter bervariasi) dipadukan dengan manufaktur aditif untuk memproduksi varian massal yang tetap ekonomis. Evaluasi klinis menggunakan parameter ISO/IEC 25010 yang diperluas dengan indikator Quality of Life (WHOQOL) dan System Usability Scale (SUS) versi aksesibilitas, memastikan dampak kesehatan mental dan efisiensi tugas terukur secara longitudinal. Studi meta‐analisis menunjukkan bahwa implementasi desain inklusif meningkatkan retensi pengguna hingga 35 % dan mengurangi biaya akomodasi per individu sebesar 42 % dibanding solusi adaptif konvensional. Kritik utama mengarah pada risiko kompleksitas desain yang meningkat; namun, simulasi agent‐based menunjukkan bahwa modularitas tingkat tinggi justru menurunkan entropy sistem sebesar 18 % karena reduksi kasus edge‐case. Tantangan etis berkaitan dengan privasi data preferensi aksesibilitas; karenanya, desain inklusif kontemporer mengintegrasikan prinsip privacy by design serta audit algoritma berbasis federated learning untuk mencegah bias kolektif. Kesimpulannya, desain inklusif bukan sekadar kepatuhan terhadap regulasi, melainkan strategi inovasi yang memperluas pasar, meningkatkan reputasi merek, dan pada level paling mendasar memperkuat prinsip kebermanfaatan universal teknologi dalam masyarakat yang semakin heterogen.